Skip to main content
SHARE

Keuntungan jangka pendek dapat menciptakan dampak buruk jangka panjang. Hal ini relevan sehubungan keputusan Indonesia baru-baru ini untuk bertaruh pada batubara sebagai pilihan untuk memasok listrik yang andal dan terjangkau.

Keputusan itu diambil pada saat seluruh dunia bergerak ke arah yang berlawanan: negara-negara semakin beralih dari batu bara ke energi terbarukan dan mendorong kompetisi antar pembangkit listrik untuk mendapatkan harga terbaik.

Apakah Strategi Indonesia?

PT PLN (Persero) telah menetapkan target ambisius untuk meningkatkan akses listrik, meningkatkan kapasitas pembangkit di daerah tertinggal, dan mempertahankan tarif listrik yang terjangkau. Untuk memenuhi tujuan tersebut, PT PLN membidik untuk mengurangi biaya pembangkitan listrik, terutama melalui pengembangan pembangkit batubara.

Dalam RUPTL terbaru, PT PLN menyertakan rencana pengembangan pembangkit batubara baru dengan kapasitas sebesar 25 GW hingga tahun 2026. PT PLN juga berencana mengembangkan pembangkit batubara tambahan sebesar sekitar 7,5 GW yang berlokasi dekat dengan tambang batu bara, yang disebut pembangkit mulut tambang. RUPTL mempromosikan pembangkit mulut tambang karena rendahnya harga penjualan listrik ke jaringan listrik, seperti yang ditentukan oleh Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 19 Tahun 2017. Permen ini membatasi harga listrik yang dijual oleh pembangkit mulut tambang sebesar 75 persen dari rata-rata BPP Pembangkitan nasional atau setempat, tergantung opsi mana yang paling rendah. Harga yang lebih rendah tersebut terjustifikasi oleh penurunan biaya transportasi batu bara yang signifikan, karena batubara tersebut disalurkan secara langsung ke pembangkit listrik.

Kebijakan energi untuk EBT (energi baru dan terbarukan) masih dianggap kurang menguntungkan. Permen ESDM No. 12 Tahun 2017 secara efektif membatasi harga yang dapat dibayarkan ke pembangkit EBT menjadi 85 persen dari rata-rata biaya produksi lokal. Keputusan ini berarti bahwa EBT harus bersaing langsung dengan pembangkit yang ada dan tidak ada premi yang diperhitungkan sebagai penghargaan atas manfaat penggunaan EBT, seperti pegurangan polusi.

Melawan Tren Global

Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan bahwa pembangkit batubara mungkin telah mencapai titik jenuhnya, dan menuju pada penurunan yang tidak dipulihkan kembali. Setiap tahun, instalasi pembangkit EBT baru mengambil alih peran kapasitas bahan bakar fosil baru, dengan harga kompetitif. Sebagai bukti pergeseran ini, produsen pembangkit batubara besar, seperti India dan China, mengumumkan moratorium tenaga batubara dan pengurangan kapasitas. Kedua negara mengganti batubara dengan teknologi EBT, didorong oleh biaya yang lebih rendah dan kebutuhan untuk mengurangi polusi udara. Indonesia tertinggal dalam hal ini di Asia.

Dengan mempromosikan pembangkit batubara, pemerintah Indonesia bertindak lebih jauh dari hanya menggantungkan masa depannya kepada batubara, pada saat negara-negara lain beralih ke sumber energi yang lebih bersih. Hal tersebut juga menjauhkan Indonesia dari tujuan utama dari reformasi ini: menurunkan harga listrik untuk masyarakat. Penyebabnya antara lain:

  1. Solusi EBT yang terus bersaing - dan harganya terus menurun. Tenaga surya telah mencapai harga serendah 29 USD per MWh di Chili. Di India, proyek tenaga surya baru-baru ini menjual listriknya sebesar 40 USD per MWh. Di Indonesia, estimasi harga jual listrik dari pembangkit mulut tambang (yang memiliki tutup harga lebih rendah dari pada pembangkit batubara standar) adalah sebesar 55 USD per MWh, berdasarkan tarif rata-rata PLN 2016.[1]  Harga baterai juga turun sangat cepat. Sistem kelistrikan terintegrasi antara sumber EBT yang intermiten dan baterai menawarkan keandalan pasokan yang sama seperti pembangkit listrik termal. Selain itu, baterai membantu membuat jaringan listrik lebih stabil dan andal - faktor penting yang layak dipertimbangkan untuk jaringan Indonesia, yang operasinya mendekati batas kapasitas maksimum.
     
  2. Promosi pembangkit listrik berbahan bakar batubara menyandera investasi dan memiliki opportunity cost yang tinggi untuk pengembangan: memutuskan untuk membangun pembangkit batubara pada saat ini akan memblokir sumber finansial dan kapasitas setidaknya selama 40 atau 50 tahun mendatang. Selain itu, PLN juga berkewajiban untuk membayar produsen pembangkit batubara independen sejumlah daya yang diperjanjikan di dalam kontrak, terlepas dari apakah daya tersebut disalurkan atau tidak (lihat laporan IEEFA). Di kala negara lain berinvestasi dalam EBT, bauran energi Indonesia justru akan didominasi oleh listrik yang mahal dan menyumbangkan polusi. Hal tersebut dapat merusak daya saing Indonesia di masa depan. Padahal besaran investasi yang sama bisa dialihkan untuk pengembangan energi yang lebih bersih.
     
  3. Biaya lingkungan dan kesehatan akan meningkat: penelitian IISD tentang biaya sesungguhnya batubara di Indonesia dengan memperhitungkan biaya eksternalitas perubahan iklim dan kesehatan adalah sebesar 61,5 USD per MWh. Ini lebih dari dua kali lipat harga pembangkitan batubara di Indonesia. Selain itu, RUPTL 2017-2026 dan Kementrian ESDM, mendorong penggunaan batubara dengan nilai kalori rendah untuk pembangkit mulut tambang, sehingga pembangkit tersebut akan membutuhkan lebih banyak batubara untuk menghasilkan jumlah listrik yang sama. Jika biaya eksternalitas diperhitungan, pemerintah Indonesia telah mempromosikan batubara tanpa mengindahkan biaya kesehatan dan lingkungan.

Alternatif yang Lebih Baik

Negara-negara di seluruh dunia sedang memperlihatkan bukti-bukti bahwa cara yang paling efisien untuk menurunkan harga adalah menciptakan pasar pembangkit listrik yang kompetitif, misalnya melalui lelang terbalik (reverse auction). Di dalam pasar yang kompetitif, mekanisme lelang dipakai untuk menentukan sumber listrik yang paling murah (termasuk batubara dan EBT) dan menghindari keharusan bagi pemerintah untuk memberikan insentif terhadap harga. Para pengembang proyek mengajukan penawaran terbaiknya, sehingga menghasilkan harga penawaran yang paling rendah.

Pertimbangan biaya sesungguhnya dari batubara - termasuk dampak terhadap kesehatan dan perubahan iklim - dalam menentukan sumber energi akan memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang bentuk energi yang paling murah ketika semua biaya dipertimbangkan.

Jika Indonesia ingin menjadi terdepan, maka Indonesia harus memprioritaskan solusi jangka panjang dan mengembangkan pasar tenaga listrik di mana EBT dapat berkompetisi di level yang sama dengan batubara demi kepentingan kesehatan masyarakat dan lingkungan. Bertaruh pada batubara dalam jangka panjang bisa berakibat pada penurunan perolehan keuntungan (diminishing returns) bagi masyarakat Indonesia.

 

[1] Dari PLN, 2016 BPP pembangkitan rata-rata adalah sebesar 983 IDR per kWh (nilai tukar 2016 sebesar 13.301 IDR / USD). Pembangkit batubara mulut tambang menjual listrik sebesar 75 persen dari harga tersebut.